Suara.com - Ombudsman RI mengungkapkan hasil-hasil kajian sistemik terkait penyelenggaraan tata kelola pelayanan unit rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas mental (PDM).
Anggota Ombudsman Indraza Marzuki Rais mengatakan, berdasar hasil pemantauan di beberapa unit rehabilitasi sosial, ditemui berbagai pelanggaran HAM. Bahkan disebutkannya, hal itu terjadi di tempat rehabilitasi.
"Stigma negatif di masyarakat dan berbagai bentuk diskriminasi masih kerap terjadi bahkan di tempat rehabilitasi yang seharusnya untuk membantu memulihkan dan mengembalikan PDM untuk dapat hidup secara inklusif di masyarakat," ujar Indraza saat konferensi pers daring daring Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan pada Rabu (21/12/2022).
Indraza mengemukan, salah satu pelanggaran HAM yang dialami PDM, yaitu tempat tidur yang tidak layak, karena sarana dan prasarana yang tidak memadai.
Baca Juga: Soal Dugaan Intimidasi Wali Murid SMAN 1 Wates, Ombudsman DIY Fokuskan Investigasi ke Hal Ini
"Sehingga penyandang disabilitas mental tidur hanya beralaskan lantai atau bahkan di gubuk. Selain itu, Ombudsman juga menemukan ruangan yang penghuninya melebihi kapasitas," ungkapnya.
Dia mengemukan, fokus kajian Ombudsman yang mengacu pada UU 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik beserta berbagai turunannya, telah mengatur standar pelayanan publik yang harus dipenuhi oleh setiap penyelenggara, tak terkecuali bagi panti rehabilitasi.
Menurutnya, tidak terpenuhinya standar pelayanan publik dapat menjadi peluang terjadinya berbagai penyimpangan terhadap PDM yang berada di panti rehabilitasi sosial.
"Ombudsman melihat pada implementasi atau pemenuhan standar pelayanan yang harus dipenuhi antara lain tentang bagaimana prosedur pelayanan (syarat, biaya, jangka waktu), jenis layanan, ketersediaan sarpras, ketersediaan dan kompetensi SDM, mekanisme pengawasan, pengelolaan pengaduan," paparnya.
Temuan Ombudsman, panti rehabilitasi sosial yang dikelola oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Sosial dan pemerintah daerah, kondisinya lebih baik daripada panti milik swasta atau masyarakat. Disampaikan kesenjangan itu, sangat dirasakan, khususnya segi sarana prasarana dan kompetensi SDM.
"Minimnya anggaran menjadi salah satu penyebab kondisi ini," jelasnya.
Kemudian yang menjadi persoalan selanjutnya, proses akreditasi yang masih terkendala. Hal itu disebabkan jumlah asesor dan minimnya sosialisasi pentingnya akreditasi. Seharusnya akreditasi dapat menjamin adanya pemenuhan standar pelayanan yang memadai.
Selain itu, meskipun ada program Atensi yang mengamanatkan panti untuk melakukan multilayanan, Ombudsman menemukan belum banyak panti pemerintah atau swasta yang mengetahui program tersebut.
Ombudsman menyoroti belum adanya instrumen monitoring dan evaluasi sebagai bentuk pengawasan yang semestinya dilakukan secara berjenjang.
"Mencermati berbagai temuan ini, Ombudsman berharap Kementerian Sosial agar mengoptimalkan kerja sama, koordinasi, pendampingan dan bahkan melakukan dukungan teknis secara berjenjang dengan pemerintah daerah dan kepada pemilik panti swasta," ucap Indraza.
Untuk diketahui, laporan Ombudsman merupakan kajian yang dilaksanakan di sejumlah wilayah, di antarnanya Bengkulu, Kalimantan Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta. Hal itu dilakukan sebagai bentuk pencegahan terjadinya maladministrasi pada unit rehabilitasi sosial milik pemerintah dan swasta.
Selanjutnya laporan kajian Ombudsman diserahkan ke Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kemensos, Pepen Nazaruddin dan Staf Khusus Menteri Sosial, Doddi Madya Judanto.